Aku dan Buku Bajakan

Sumber gambar: milik pribadi


Petanimencatat - Dulu, 6 tahun yang lalu, ketika awal-awal tinggal di Surabaya, saya beli buku-buku bajakan yang ada Kampoeng Ilmu, sebuah pusat jual-beli buku macam Wilis di Malang atau Shopping di Yogyakarta. Waktu itu saya belum ada kerjaan dan hidup hanya mengandalkan subsidi dari orang tua.

Saya seperti tidak punya pilihan. Saya dikirim kurang lebih 300rb/bulan. Sedangkan di saat yang sama, ambisi untuk membaca dan membeli buku lagi meluap-luap. Mungkin harusnya saya tidak perlu beli buku, cukup pinjam ke perpusda dan perpustakaan kampus.

Tapi keinginan untuk mengoleksi buku bukan main besarnya. Hampir setiap bulan saya menyisihkan 100rb dari uang kiriman itu untuk belanja buku. Dan sisanya saya gunakan untuk bertahan hidup.

Dengan uang 200rb, saya harus menyiasati agar cukup satu bulan.

Selama setahun saya pergi ke kampus dengan berjalan kaki dari kontrakan yang jaraknya hampir 3 km. Hampir setiap hari. Kadang saya nebeng atau pinjam sepeda teman ketika rasa malas untuk jalan kaki tiba-tiba menyerang.

Dan untuk makan pun, saya harus makan sekali sehari. Kadang 2 hari sekali. Waktu itu kontrakan kami dekat dengan penjual nasi yang harganya 6 rb/porsi. Jika sudah benar-benar tidak cukup, terpaksa ngutang. Saya kira itu biasa dilakukan oleh anak kos/kontrakan.

Sungguh, saya sangat berhutang budi pada kawan-kawan sekontrakan. Mereka sering membelikanku kopi, mentraktirku makan, membayari semua biaya sewa main PS kami, mengantarkanku ke sana-kemari, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Mereka telah membuatku merasa bahwa mereka bukan sekadar teman. Mereka adalah saudara.

Bahkan, ketika saya ikut tinggal di kontrakan itu, saya tidak ikut bayar. Selama setahun tinggal di rumah kontrakan tersebut, saya hanya mengeluarkan uang sekali. Saat listrik dimatikan karena kami menunggak sekian bulan.

Dua tahun berikutnya, saya sudah bawa sepeda sendiri ke Surabaya dan bisa mencari uang sendiri. Dari itu kondisi saya mulai membaik. Makan mulai teratur dan membeli buku juga mulai selektif.

Sekarang setelah mengumpulkan beratus-ratus buku yang sudah saya bawa pulang, sedikit demi sedikit saya sumbangkan buku-buku itu kepada yayasan atau sekolah yang membutuhkan buku.

Tindakan itu saya niatkan sebagai permohonan maaf saya kepada penerbit dan penulis karena telah membeli buku mereka yang dibajak. Semoga mereka tetap mendapatkan amal jariyah dari karya mereka.

Saya sadar. Pembajakan buku harus ditumpas, dan demi hal ini, saya juga mendukung pemberantasan buku-buku bajakan. Sebagai konsumen, hal paling sederhana yang dapat saya lakukan, adalah tidak membeli buku-buku bajakan lagi.

Sekali lagi, saya mohon maaf pernah beli buku bajakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Kala Ratih

Aku Menghimbau "Green Living"