'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

(Sumber gambar dari akun IG @aff.clubs)


Syukur, setelah introspeksi secara mendalam, aku tidak mengidap bahkan sebiji pun dari contoh-contoh 'Toxic Masculinity' ini. Demikian juga, aku menginginkan agar kaum lelaki tidak perlu memiliki sikap 'toxic'.

Iya, aku merokok, tapi bukan karena demi terlihat jantan. Merokok bagiku sama seperti makan mie instan atau minum Sprite bagi kalian. Kita melakukannya, ya karena kita suka dan ingin melakukannya. Dan ketika kita melakukan apa yang ingin kita lakukan, selama tidak melanggar hukum dan norma, itulah kebahagiaan.

Dalam hal kesetaraan gender, aku percaya laki-laki dan perempuan itu setara, dan bukan sama. Yang terpenting itu adalah kualitas. Tidak urus alat kelaminmu 'pisang' atau 'donat'. Yang paling baik di antara semuanya adalah yang paling bertakwa, paling beriman, dan paling berguna.

Bukan suatu kehinaan bila seorang lelaki mengerjakan urusan domestik rumah tangga: masak, nyuci, dan nyapu. Pun, tak ada salahnya seorang perempuan yang mengerjakan hal-hal 'berat'. Kurang keren bagaimana lagi Chef Juna yang bisa jadi juri di Master Chef karena kemampuannya memasak? Dan kurang mengesankan apa lagi Yu Ripen (seorang wanita) yang jadi 'laden' di kuli bangunan?

Lelaki tidak lebih unggul dari perempuan, begitupun sebaliknya. Tidak ada takdir yang demikian. Karena bila lelaki ditakdirkan lebih unggul dari perempuan, maka Tuhan sudah tidak adil sejak kita di dalam kandungan. Dan itu tidak mungkin. Tuhan mustahil tidak adil.

Hanya saja, dalam hematku, ada hal-hal yang memang lelaki dan perempuan itu punya peran berbeda. Misalnya, mengandung, melahirkan, dan menyusui tidak bisa diganti-perankan pada lelaki. Ini kodrat, dan kita tidak bisa mengatakan tidak.

Bagaimana dengan merawat dan mendidik anak? Ya, dilakukan bersama-sama lah, bos. 'Bikinnya' kalian bersama-sama, masa merawatnya sendiri-sendiri atau cuma salah satu di antara keduanya? Ramashoook...

Peran lelaki dan perempuan, bagiku, mirip-mirip dengan peran-peran posisi pemain sepak bola. Tugasnya Striker, ya bikin gol. Tugasnya Back dan Keeper, ya menahan agar tidak kebobolan. Apakah ada Keeper yang bikin gol? Ada. Apakah ada Back yang ikut menyerang? Ada. Apakah ada Striker yang jadi pemain bertahan? Ada. Itu semua disesuaikan sama kondisi. Dan tugasnya penonton, sebagaimana tetangga, kalau nggak memuji, ya mencemooh. Sesederhana itu kok.

Sekali lagi, khusus untuk kaum adam, jangan 'Toxic Masculinity'-lah. Takut untuk terlihat lemah itu adalah kelemahan yang nyata. Dan merasa paling kuat adalah kerapuhan yang tersembunyi. Itu aja pesanku, dan dua kalimat tadi sepertinya cocok jadi 'caption' pada postingan kalian. Wkwkwk...

Bai de wey, kalau di kalangan lelaki ada 'Toxic Masculinity', apakah di kalangan perempuan ada 'Toxic Femininity'? Serius tanya ini, bos. Makacih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Kala Ratih

Aku Menghimbau "Green Living"