Kala Ratih

Sumber gambar: milik pribadi

Petanimencatat - Sedari awal aku memang penasaran pada judul buku ini: Kala Ratih. Mula-mula aku menduga Kala Ratih semakna dengan 'waktu Ratih' atau 'saat Ratih' atau 'ketika Ratih'. Sampai aku membaca buku ini, rasa penasaranku tak pernah terselesaikan. Maka dari pemilihan judul, buku ini telah sukses, sekurang-kurangnya sukses membangunkan rasa 'kepo'-ku.

Namun sebelumnya, aku kira penting menyampaikan ini. Aku tak bermaksud mengkritik atau memberi penilaian bagus-tidaknya karya sastra ini. Jangankan memberi penilaian, wawasanku tentang kesusastraan saja sangat minim. Bahkan aku tidak yakin apakah tulisan ini masuk kategori resensi buku atau tidak. Jadi, anggaplah tulisanku kali ini tak lebih dari sekadar curhatan seorang anak SMA yang baru keluar dari ruang kelas setelah mengikuti UAN pada mata pelajaran Matematika.

Kala Ratih ternyata adalah dua nama tokoh yang digunakan pada setiap cerita. Dalam buku ini ada 12 cerita yang dibuat oleh 4 orang penulis muda berbakat. Uniknya, meski menggunakan nama tokoh yang sama, ke-dua belas cerita tersebut tidak saling berkaitan. Kala adalah nama untuk tokoh seorang lelaki dan Ratih untuk perempuan.

Masing-masing cerita pun memiliki tema yang berbeda-beda. Itu jelas. Dan aku tidak dapat membayangkan betapa membosakannya sebuah kumcer (kumpulan cerpen) yang memiliki nama tokoh dan tema yang sama tapi isi ceritanya berbeda.

Lalu, bagaimana keempat penulis cerita tersebut menyajikan sebuah cerita yang unik dengan nama tokoh yang sama? Mereka mengambil setting daerah asal masing-masing. Misal, Anggi Putri, kelahiran Jombang, membuat cerita dengan setting dan lokalitas Jombang. Juga Amelia Fiza, kelahiran Situbondo, menggambarkan rumitnya persiapan pernikahan di wilayah Situbondo (dan sebetulnya juga Bondowoso bagian utara seperti kecamatan Cerme) dalam ceritanya yang berjudul (Tak) Jadi Kawin?

Begitu pun dengan Dean Perdana dan Rena Kharisma yang secara berurutan berasal dari Surabaya dan Sidoarjo. Mereka menggunakan setting daerah asal mereka masing-masing sehingga cerita yang mereka suguhkan benar-benar lain satu sama lain.

Dari strategi lokalitas ini, banyak hal yang dapat dipetik pembaca dari buku ini selain menikmati alur cerita dan kompleksitasnya. Salah satunya adalah memperoleh informasi tentang budaya setempat. Ini patut diapresiasi dan terus dikembangkan.

Setiap orang dari penulis buku kumcer ini mempunyai gaya menulis dan pemilihan diksi yang beragam. Ada yang gaya tulisannya sangat mengalir tenang. Ada pula yang bergelombang seperti ombak di lautan yang apabila konsentrasi kita lengah, kita akan ditenggelamkan dalam kebingungan. Ada yang dituliskan secara lugas. Ada pula yang agak puitis. Dari semua keanekaragaman yang ada, itu patut dirayakan.

Mungkin sekarang kalian bertanya-tanya: layakkah buku ini dibeli dan dikonsumsi?

Pertama, tidak ada buku yang tidak layak dibeli dan dibaca. Jika pun ada buku yang tak layak dibeli, itu pasti buku bajakan. Dan jika ada buku yang tak layak dibaca, itu pasti buku yang tak pernah ditulis.

Kedua, FYI, buku kumcer ini akan diikutkan pada acara Bekraf Festival 2019 di Solo. Dan tahulah kalian bahwa tidak semua buku bisa berada di acara tersebut.

Jadi, layakkah dibeli dan dibaca? Timbang, dan putuskan sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Aku Menghimbau "Green Living"