Imajinasi

Sumber gambar: milik pribadi


Petanimencatat - Aku baru saja selesai membaca novel Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng, karya Jostein Gaarder, penulis asal Norwegia.

Sebetulnya aku sudah lama memiliki buku novel itu. Sekitar 3 tahun yang lalu. Tapi, belum sempat aku membacanya, buku itu dipinjam oleh adik sepupu. Kemudian dipinjam oleh temannya dan, aku sangat yakin, berikutnya dipinjam oleh temannya teman adik sepupuku itu. Entah sudah berapa orang yang telah menjamah buku itu sebelum pemiliknya.

Novel itu kembali padaku sekitar 5 bulan yang lalu, dan sudah dalam kondisi tidak menarik. Sungguh aku sangat menyesalkannya.

Novel itu, seperti yang kuduga saat pertama kali melihatnya di toko buku, sungguh menarik. Ia menunjukkanku kedahsyatan imajinasi. Sesuatu yang kini sudah sangat jarang kulakukan.

Sewaktu kecil, aku suka melamun. Membayangkan hal-hal yang dalam kenyataan sulit kulakukan, bahkan mustahil. Melamun pada akhirnya menjadi semacam pelarian atas kenyataan yang tidak bisa kuwujudkan.

Secara umum dapat kusimpulkan bahwa lamunanku cenderung bersifat heroik-dramatik. Aku sangat suka, dalam dunia imajinasiku, menjadi sosok pahlawan. Menyelamatkan seseorang atau kelompok dalam situasi yang dramatis.

Aku lupa, atau memang mungkin tidak pernah, melamun menjadi seorang kaya raya yang dermawan. Atau, menjadi seorang intelektual yang mampu merumuskan teori baru untuk kemaslahatan umat manusia.

Lamunanku selalu sederhana. Aku membayangkan diriku menjadi, umpamanya, seorang pembalap sepeda onthel yang memenangkan balapan secara dramatis di garis finis. Atau, menjadi seorang pemain bola yang membantu memenangkan tim dengan aksi individu yang atraktif setelah tertinggal sekian gol.

Ketika aku duduk di bangku kelas 4 atau kelas 5 SD, aku punya rasa ketertarikan atau kekaguman pada seorang anak perempuan, panggil saja Siti. Tapi ketertarikanku padanya, ya sekadar ketertarikan biasa. Bukan semacam cinta apalagi yang dibumbui nafsu, karena waktu itu aku masih meyakini bahwa proses kehamilan perempuan disebabkan percampuran air seni antara perempuan dan laki-laki.

Dan seringkali aku membayangkan diriku menjadi seorang pahlawan bagi Siti. Misalnya:

Suatu ketika aku sedang berlibur ke pantai. Sendirian. Lalu tanpa sengaja aku melihat Siti bersama keluarganya di sana. Aku memperhatikannya dari jarak kejauhan dan sembunyi-sembunyi karena aku tidak mau keluarganya melihatku.

Di sana kuperhatikan ia bermain air di bibir pantai. Dia terlihat kegirangan sesaat sebelum ombak membentur kakinya. Kemudian ia menjerit dan tertawa seketika gulungan ombak itu menyentuh kakinya. Aku sangat senang memperhatikannya tertawa dan tersenyum. Apalagi dengan rambut yang dikibar-kibarkan angin dan kaki yang telanjang, dia jadi terlihat tambah manis dan imut.

Sesekali kulihat Siti lari menghindar dari kejaran ombak. Kadang ia mengejar air yang kembali ke laut. Menjejakkan kakinya pada buih-buih yang mengikuti gerak air.

Sedangkan agak jauh dari sapuan ombak, bapak dan ibunya duduk berdua di atas pasir. Berbincang-bincang. Kulihat bapaknya menyalakan rokok, dan mereka terlihat sangat asyik.

Kemudian perhatianku kembali tertuju pada Siti. Terlihat ia seperti memanggil orang tuanya dan melambaikan tangan mengajaknya ikut bermain, dan orang tuanya juga balas melambaikan tangan sebagai isyarat penolakan. Lalu Siti kembali bermain sendiri.

Mungkin karena Siti sudah bosan bermain sendiri, ia kembali memanggil orang tuanya. Tapi yang panggil sepertinya tidak mendengar. Mereka masih asyik berbincang-bincang.

Saat Siti berteriak-teriak memanggil orang tuanya untuk yang kesekian kali dan sudah terlihat kesal. Secara tiba-tiba ombak besar menghantam tubuhnya dan dia terjatuh. Sekilas terdengar ia menjerit. Namun berikutnya ia terbawa arus air yang kembali ke laut. Tubuhnya mulai tak terlihat.

Dalam sekejap, dia sudah ada di agak ketengah laut. Tangannya melambai-lambai dan terlihat megap-megap. Orang-orang mulai berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk ke arahnya.

Itu keadaan yang sangat genting. Aku langsung berlari ke arahnya. Tak peduli pada apapun. Aku berlari kencang, mendahului ibu dan bapaknya yang tergopoh-gopoh. Tanpa pikir panjang aku langsung melompat dan berenang ketengah laut.

Aku sangat ahli dalam berenang. Dengan mudah aku dapat mendekatinya. Lalu, kugendong dia dan kubawa ke tepi pantai. Ibunya menangis dan bapaknya terlihat panik. Orang-orang juga cemas. Dia tidak sadarkan diri. Kemudian, aku dan bapaknya bersama menekan perut dan dadanya (entah dalam ilmu medis ini dibenarkan apa tidak).

Sekian detik berselang, akhirnya dia tersadarkan setelah terbatuk-batuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. Dia langsung menangis dan memeluk bapaknya. Lalu ibunya juga ikut memeluknya.

Aku sangat senang dia bisa terselamatkan. Aku langsung menyingkir secara perlahan sambil berharap bapaknya akan memanggilku dan berterima kasih. Tapi dibandingkan bapaknya, aku lebih berharap ucapan terima kasih itu keluar dari mulutnya sambil memegang kedua tangannya.

Tapi, biasanya, sebelum aku selesai dengan lamunanku itu, aku tersadarkan. Kadang oleh panggilan ibu atau tasbih yang dilempar guru ngaji. Memang imajinasi yang tidak masuk akal sih. Bahkan aku tidak tahu--atau memang sudah lupa--mengapa harus ada adegan pegang tangan ketika Siti mengucapkan terima kasih. Dan mengetahui alasanya mengapa demikian, menurutku, sudah tidak penting lagi.

Faktanya, dan yang terpenting dari lamunanku menyelematkan Siti, adalah sampai detik ini aku tidak bisa berenang. Jangankan di laut yang memiliki arus dan gelombang ombak, di kolam renang sekalipun aku tak pandai.

Sebenarnya masih banyak sekali hal-hal yang aku lamunkan. Beberapa diantaranya aku ulang berkali-kali, termasuk cerita di atas hingga aku sampai hafal pada alur ceritanya.

Tapi semakin lama, semakin jarang aku melamun. Makin tua, makin jarang berimajinasi. Entah itu terjadi secara alamiah karena umurku bertambah, atau justru karena jenjang pendidikanku yang semakin tinggi dan mengharuskan berpikir empirik-positivistik. Aku tidak mau menduga-duga.

Namun, jika benar-benar mengimani ungkapan Einstein "Imagination is more important than knowledge", maka tidak perlu heran mengapa Leonardo da Vinci mampu menciptakan suatu hal yang bahkan di jamannya belum ada, termasuk desain pesawat terbang!

Jadi, mari kita melamun (lagi).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Kala Ratih

Aku Menghimbau "Green Living"