Aku Lagi Ngidam

Sumber gambar: milik pribadi



Petanimencatat - Dua hari yang lalu aku mendapatkan tembakau ini. Seorang sepupu membelikannya di dekat pasar Kecamatan Mumbulsari. Lalu, bagaimana rasanya? Ya, biasa aja sih. Sejauh ini aku menikmatinya.

Rokok tembakau itu, bagiku, keren. Ya, hanya orang-orang kampung dan yang kampungan yang menilai rokok tembakau itu untuk orang miskin dan aki-aki. Padahal, siapapun orangnya dan apapun strata sosialmya dapat mengkonsumsinya kok. Yang penting punya duit untuk membelinya, atau tidak punya malu untuk memintanya pada orang lain.

Perkara rokok tembakau itu dipandang sebagai rokoknya orang miskin atau orang yang sedang miskin, aku menduga karena mereka taunya harga tembakau itu murah. Bahkan ada yang satu ons harganya Rp. 10.000. FYI, satu ons itu jika dikonsumsi sendiri dan dengan intensitas yang wajar dapat bertahan hingga 7 hari.

Lalu, bagaimana rasanya tembakau Rp. 10.000 per ons? Ya dalam penilaian umum, sulit untuk mengatakan 'enak'. Ada rasa, ada harga.

Tapi, sungguh, ada kok tembakau yang rasanya menurutku sangat enak. Beberapa kali aku pernah menghisap tembakau yang sangat enak. Dan yang dekat, misalnya, bulan lalu aku bertandang ke Malang. Silaturahmi kepada beberapa teman dan menikmati kopi bersama, khususnya dengan Syeikhul Kabir Zulkarnaen Muhammad

Nah, ketika bertemu dan ngopi dengan Syeikh yang satu itulah aku disuguhi tambakau yang enak. Dengan tembakau itu, aku benar-benar menikmati apa yang disebut momen merokok. Setelah kutanya harganya, dia bilang kurang lebih 1,8 juta per kilogram. Ya, tidak begitu terkejut sih, karena tembakau bukan hal asing bagiku.

Akan tetapi, saat ini aku ingin sekali sebat rokok merek Surya Gudang Garam. Kira-kira sudah dua minggu lebih aku tidak mengisap rokok merek yang itu. Setelah tulisan ini aku post, aku akan membelinya ke toko terdekat.

Perihal rokok tembakau (lintingan) dan rokok bungkusan (sasetan) itu kadang muncul silang pendapat. Ada argumen-argumen, dari pemuja rokok lintingan, yang menyatakan bahwa rokok lintingan lebih terlihat klasik, kalem, dan pembela kaum tani. Begitu pula sebaliknya. Pemuja rokok bungkusan bilang rokok bungkusan lebih praktis, gaul, dan pembela buruh pabrik. Ya, mereka hampir mirip 'Islam Tradisional' vs 'Islam Modern' gitu lah. Dan aku tidak tertarik mengikuti percakapan mereka.

Untuk diriku sendiri, rokok lintingan atau rokok sasetan, itu persoalan selera. Dan tidak ada yang perlu diperdebatkan dengan selera. Tapi, jika memang harus ada alasan mengapa aku lebih cenderung pada rokok lintingan, maka jawabanku: karena adanya gabus/filter pada rokok.

Ada apa dengan gabus rokok?

Gabus rokok itu adalah jenis sampah yang paling banyak ditemukan di pantai. Selain itu, gabus rokok bahkan memerlukan 10 tahun agar terurai. Ditambah lagi, air yang terkena puntung rokok akan terkontaminasi karena kandungan kimiawi yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu, aku lebih memilih rokok lintingan. Pada rokok lintingan, apalagi tingwe (linting dewe), umumnya tidak ada gabusnya. Cuma ada tembakau dan kertas.

Oh iya, sebetulnya, orang yang suka rokok lintingan bisa menyiasati agar lebih terlihat 'cool and classy'. Misalnya dengan membelikan atau membuatkan tempat khusus untuk tembakau, seperti tas kecil atau dompet yang terbuat dari kulit.

Dulu aku pernah punya dompet semacam itu, yaitu sebelum senior Imron Hamzah menjarahnya secara licik dan brutal. Aku sih santai aja. Aku cuma berharap semoga kelak Haedar, anaknya, tidak mengikuti jejak bapaknya: menikung pacar temannya sendiri.  Wkwkwk...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Kala Ratih

Aku Menghimbau "Green Living"