Setelah 21 Tahun Berlalu

Sumber gambar: IDN Times


Petanimencatat - Baru saja saya 'ngaji' sedikit tentang tragedi 1998. Sungguh menggetarkan.

Ketika masih mahasiswa dulu, para senior di organisasi sering mengulang-ulang peristiwa '98. Masa reformasi, katanya. Mereka berkisah bagaimana mahasiswa mampu mengguncang Jakarta dan Indonesia yang akhirnya memaksa Pak Harto mundur dari jabatan presiden.

Kisah heroik mahasiswa itulah yang terus didengungkan di telinga kami, para junior. Seolah-olah peristiwa '98 hanya peristiwa antara mahasiswa dan penguasa. Pada saat itu nada-nada kesombongan sayup-sayup terdengar.

"Kita loh, mahasiswa, agent of change, juga agent of control. Kita, mahasiswa, pernah menggulingkan kezaliman dan kesewenang-wenangan penguasa Orde Baru (Orba)!"

Ungkapan semacam ini sering aku dengar dari mereka--entah saat sambutan pembukaan acara organisasi, penutupan acara, ataupun dalam forum kecil yang mereka sebut 'kajian' dan 'diskusi' meskipun kenyataannya forum itu jauh dari gambaran kedua kata tersebut.

Aku sangat paham. Mereka menceritakan itu semua karena ingin memberikan motivasi agar kami tidak menjadi mahasiswa 'kupu-kupu', kuliah pulang kuliah pulang. Mereka mau kami jadi mahasiswa dan kader organisasi yang kritis dan revolusioner.

Sedangkan untuk menjadi kritis dan revolusioner, langkah pertamanya adalah rajin membaca. Namun sayangnya aku perhatikan mereka bukan pembaca yang baik. Tak ada bedanya lah denganku.

Ya sudahlah... Itu sudah lalu, masa mahasiswa cupu.

Terkait tragedi '98, aku bangga Orba tumbang. Dari peristiwa itu, akhirnya kita bisa bebas berpendapat: Menyuarakan penolakan dan dukungan serta menyampaikan kritikan dan saran. Hal yang tentu saja sangat mahal, dan kadang mesti dibayar dengan nyawa di masa Pak Harto berkuasa.

Akhirnya demokrasi kita menjadi lebih dinamis dan tumbuh berkembang. Alhamdulillah...

Namun peristiwa '98 itu 'dikotori' oleh tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan sungguh biadab. Penjarahan, perampokan, pengrusakan, penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap keturunan Tionghoa sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Bagaimana mungkin kita bisa bersikap permisif terhadap kejahatan yang menurut TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) '98, ada 85 orang yg terverifikasi:
- 52 orang korban perkosaan
- 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan
- 10 orang korban penganiayaan seksual
- 9 orang korban pelecehan seksual

Sedangkan dari Kalyanamitra (organisasi nonpemerintah untuk perempuan), ada 189 kasus yang terverifikasi dari 200 aduan. Bahkan, mungkin jumlahnya lebih banyak lagi karena para korban tidak mau bersuara karena malu dan takut menambah aib keluarga.

Apalagi dalam salah satu tradisi Tionghoa, perkosaan itu adalah aib yang besar bagi keluarga dan komunitas. Dua korban perkosaan di Jembatan Dua dan Jembatan Tiga diberi pisau oleh keluarga supaya bunuh diri.

Sungguh menyedihkan, bukan?

Kita harus terus mengingat sejarah ini. Sejarah tentang kejahatan HAM yang sampai sekarang pengusutan kasusnya belum menemukan titik terang. Kejahatan yang harusnya sudah tuntas oleh kekuatan reformasi dan demokrasi.

Tragedi '98 tidak boleh terlupakan agar kita tidak kehilangan pelajaran hidup berbangsa dan bernegara. Juga, agar pemerintah tetap sadar bahwa mereka masih punya tanggung jawab mengungkap kasus tersebut.

Lalu sekarang, setelah 21 tahun berlalu, bangsa ini geger gara-gara menolak hasil pemilu? Semakin lenyaplah pengungkapan kasus HAM masa lalu itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka untuk Para Jomblo

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Sam Tobacco dan Rokok 'Tingwe'

Pemain Baru dan Tantangan Unai Emery

H-1 Lebaran Dini Hari di Warung Mie Instan

Kala Ratih

Aku Menghimbau "Green Living"