Curhatan-curhatan dari Teman-teman
Sumber gambar: ugetuget.com
Dan yang terbaru, seorang teman curhat via chat Whatsapp tentang pertengkarannya dengan sang suami. Ini kusalin percakapan kami, dan aku sunting beberapa hal untuk kepentingan privasinya.
“Aku biarkan dari kemarin karena aku pikir dia butuh nenangin diri, tapi aku hubungi kok nggak digubris,” katanya.
“Mungkin kamu perlu mencarinya besok.”
“Awalnya aku chat dan telpon, masuk. Tapi setelah itu gak bisa. Mungkin (internet) datanya dimatiin,” ujarnya memikirkan kemungkinan.
“Besok aja dicari. Kamu pasti tau tempat biasa dia nongkrong.” Aku masih dengan saran yang sama.
Lalu, dia chat lagi, “beberapa kali aku kayak gini. Aku yang cari, aku yang susah payah. Sakit rasanya.” (ya, iyalah, Bu. Masa tetangga yang mau susah payah dan bersakit-sakit, kan kamu yang enak-enakan sama suamimu? Gimana sih!)
“Ya, kan kamu sendiri yang memilih untuk menikahinya.”
“Dia itu angkuh. Sangat , sangat angkuh. Entah kenapa akhir-akhir ini keangkuhannya semakin menjadi-jadi. Mulai bersikap nggak peduli, dll.”
“Itu tugasmu. Kalau dia api, kamu harus jadi air,” kataku sok bijak.
“Selalu. Aku tipe orang yang gak suka berlarut-larut dalam masalah. (setahuku semua orang gak suka punya atau bikin masalah, kecuali mungkin Jorge Mendes, Bu). Aku selalu ngalah. Bukannya bersikap sama, tapi dia malah keenakan, semena-mena karena aku yang mengalah.”
“Kalau kamu sudah nggak tahan,” jawabku kemudian, “curhat kepada keluarganya atau orang yang diseganinya.”
“Mertuaku sudah wafat. Yang tersisa kakaknya. Tapi kakaknya nggak merestui pernikahan kami. Dia dari awal emang nggak suka sama aku.” (what? Tidak direstui? Gaes, aku harus ngomong apa coba? I have no idea!)
Akhirnya aku jawab chat temanku itu setelah Ilham turun dari atas genteng, “Jika jalan manusia sudah mentok, mintalah jalan Tuhan. Dia pasti membantu hambanya. Kamu rajin-rajin saja ibadah dan berdoa. Siapa tau juga dengan melihatmu demikian, suamimu nanti dapat berubah.”
“Mungkin begitu lebih baik. Terima kasih.”
***
Ledis en Jentelmen, lihat betapa aku ini adalah pengangguran yang bermanfaat. Kalau memang bukan karena terlalu seringnya aku nggak ada kerjaan, buat apa aku ladeni chat orang-orang yang kebanyakan nir-faedah itu, iya kan?
Tetapi, aku sejatinya suka mendengarkan cerita-cerita. Mungkin karena memang dari aku kecil bapakku jarang mendongeng sebelum aku tidur. Masa kecilku tidak banyak cerita-cerita yang aku dengar. Kebanyakan berisi ancaman dan rasa takut. Jadi aku sangat senang ketika ada orang yang cerita, meskipun hasratku untuk curhat masalahku sendiri lebih besar.
Dalam berbagai kesempatan, beberapa teman curhat tentang kehidupan rumah tangganya. Kebanyakan di antara mereka adalah para perempuan. Yah, mungkin mereka tidak sadar satu hal: retaknya hubungan dengan pasangan (baik yang pacaran ataupun sudah menikah) dikarenakan salah satunya curhat dengan orang lain yang beda jenis kelamin.
Tahulah kalian betapa besar godaan untukku agar tidak menjadi pebinor (perebut bini orang). Dan, Alhamdulillah, meski dengan susah payah, belum pernah aku merebut bini/pacar orang. Kalau ditinggal, wah jangan ditanya. Wkwkwkw…
Aku bukan orang yang banyak tahu tentang segala hal, apalagi urusan keluarga. Tapi anehnya, mereka tetap curhat saja. Ya, sebetulnya kadang aku bertanya-tanya. “orang ini gila kali ya, masa curhat urusan keluarganya pada orang yang belum berkeluarga,” bisikku dalam hati.
Karena ingin terlihat sebagai orang yang punya pengertian, maka aku dengarkan saja curhatan mereka. Meski saat dimintai pendapat, aku jawab sekenanya. Toh, mereka terlihat mengiyakan saranku.
Ada juga curhatan yang sangat biasa. Tidak ada masalah yang benar-benar dapat disebut masalah. Apa yang disebutnya masalah sudah ada solusinya, tinggal dieksekusi saja. Tapi, entah mengapa dia merasa itu adalah masalah yang amat berat, rumit dan seolah-olah tidak ada penyelesaiannya.
Mendengar curhatan orang seperti ini, rasa-rasanya ingin sekali aku makan gelas dan kopinya aku siramkan ke wajahnya. Untung aku mengamalkan sila kedua dari Pancasila dan masih penasaran seperti apa surga dunia itu. Wkwkw…
Meski begitu ada juga curhatan-curhatan yang aku merasa sangat bersimpati. Semisal kisah seorang teman yang ditinggal kabur sama suaminya. Yang kutahu, dia itu wanita baik lagi cantik. Tetapi, ya, mungkin dia punya salah besar hingga si suami tidak sudi memaafkan dan kembali padanya. Atau, bisa jadi memang si suami punya WIL (wanita idaman lain). Entahlah.
Dan, kabar terakhir yang kudengar mereka akhirnya benar-benar bercerai. Tapi, pilunya si suami saat ini sedang dalam proses lamaran pada seorang gadis yang tak lain adalah dua pupu dari mantan istrinya, temanku itu. Terdengar tragis dan agak-agak brengsek ya? Hahaha… Ya, sudahlah. Jangan menilai kalau tak tau duduk persoalannya.
Setiap orang memang punya masalahnya masing-masing. Masalahku dan kalian tidak sama. Begitupun permasalahan kita dan mereka. Bukankah manusia diuji dengan kadar kemampuannya masing-masing?
Hal yang mesti kita lakukan dalam hidup ini adalah jalani dan kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Sesorang pernah berujar: don’t cry because it is over and smile because it happens. Artinya (seperti kata Chairil Anwar), mampus kau dikoyak-koyak sepi! Wkwkwk…
Oiya, dari begitu banyak teman yang curhat, aku jadi bingung apakah mau mendirikan sekolah gratis atau lembaga konsultasi. Sepertinya aku perlu curhat deh, gaes. Wkwkwk...
Komentar
Posting Komentar