Dolly English ArtFest dan Politik
Gambar: milik pribadi
Bila Anda tidak tau bahwa ada komunitas Dolly English Club (DEC) di Surabaya, kemungkinan besar Anda kurang asupan informasi. Sebab, komunitas ini sudah ada sejak berbulan-bulan yang lalu dan telah diliput oleh media nasional maupun lokal.
DEC, sekali lagi perlu disampaikan, adalah komunitas yang berusaha memberi pengajaran kepada masyarakat sekitar kampung Dolly, bekas salah satu lokalisasi terbesar se-Asia tenggara, tentang pendidikan dan kesenian.
Progam pengajaran tersebut khususnya ditujukan kepada anak-anak dan pemuda, dan tentu saja dengan gratis. DEC menginginkan perubahan (secara bertahap) terhadap masyarakat sekitar kampung Dolly. Bagaimanapun, harus diakui, persoalan di kawasan Dolly tidak selesai begitu saja setelah lokalisasi Dolly ditutup. Masih ada banyak persoalan yang perlu dituntaskan, termasuk soal pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa masyarakat di daerah Putat Jaya itu tidak berpendidikan atau sekumpulan orang tidak mampu. Sama sekali tidak. Hanya saja, karena mereka sejak berpuluh-puluh tahun hidup nyaman karena perputaran roda perekonomian yang lancar, mereka ternyata kurang begitu siap dengan perubahan atas penutupan lokalisasi itu. Dan jelas saja, uang bagi mereka saat ini lebih sulit diperoleh dibandingkan sebelum lokalisasi ditutup.
Saya sama sekali tidak mau membahas penutupan itu maupun dampak-dampaknya secara khusus. Itu soal lain dan silakan teliti sendiri seluk-beluknya.
Hal penting yang mau saya utarakan adalah bahwa komunitas ini mencoba melakukan dua hal: pola pikir dan stigma.
Pola pikir ini sifatnya ditujukan kepada masyarakat di kawasan Dolly tersebut. Hal ini terkait dengan bagaimana masyarakat di sana menghadapi kehidupan 'baru'nya secara mental maupun intelektual. Sedangkan stigma tidak lain adalah apa yang melekat dalam pikiran masyarakat luar tentang terma Dolly.
DEC menginginkan masyarakat di kawasan Dolly dapat berubah dan kawasan itu sudah tidak seperti dulu lagi. Salah satu upaya yang dilakukan DEC yaitu mengadakan festival dengan tema "Dolly English ArtFest" yang digelar kemarin, 30 September.
Festival ini diawali dengan senam pagi bersama warga kampung. Lalu, dilanjutkan dengan 'English in Public' yang diikuti oleh ratusan siswa SLTA dari sekitar Putat Jaya dan Dukuh Kupang. Ada juga Jaranan Senterewe, Javanese Music, English Music, dan Bazaar yang meramaikan sepanjang hari.
Selain itu, kegiatan tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh. Ibu Arumi Bachsin (istri wakil gubernur terpilih Jatim), Andre Hehanussa (penyanyi Indonesia tahun 2000-an), Konsulat Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, serta terakhir seorang peneliti Dangdut dari Amerika Serikat, Andrea Decker. DEC harus berterima kasih atas kesediaan mereka untuk menghadiri dan memeriahkan event tersebut. Mereka semua telah memberi daya tarik tersendiri.
Akan tetapi, ini yang agak disesalkan, Andre Hehanussa mengenakan pakaian yang identik dengan salah satu paslon pilpres 2019, dan celakanya video saat dia menyanyi di-posting oleh akun relawan salah satu paslon tersebut di Facebook.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Tidak Andre Hehanussa, tidak pula akun yang memposting video itu. Itu hak mereka untuk bertindak demikian, karena DEC pun tidak pernah mengadakan kontrak politik dengan salah satu partai manapun. Akan tetapi, tindakan itu sangat berpotensi menciptakan persepsi bahwa DEC bekerjasama dengan partai tertentu. Ini yang kurang menarik.
Kenapa dikatakan demikian? Apabila masyarakat mempercayai bahwa DEC berkerjasama dengan partai tertentu, maka jelas ini akan, sedikit banyak, menghambat DEC memperoleh dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk menjalankan program-program berikutnya. Masyarakat bisa saja akan berpikir bahwa DEC adalah organisasi yang transaksional dengan partai-partai tertentu.
Sedangkan organisasi sosial, kita harus selalu ingat ini, yang tidak didukung oleh masyarakat sekitarnya adalah organisasi yang omong kosong. Jadi bagaimana mungkin suatu organisasi ingin menciptakan perubahan pada masyarakat tertentu tanpa dukungan masyarakat itu sendiri? Ini sangat sulit, kalau tidak mau menyebutnya mustahil. Oleh karenanya, tentu, kami tidak ingin hal ini terjadi pada DEC.
Saya sendiri sama sekali tidak anti terhadap politik. Bagi saya politik itu seperti udara yang kita hirup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mau tidak mau kita berpolitik, atau setidaknya hidup dalam pengaruh kebijakan-kebijakan politik.
Nampaknya kita perlu lebih bijak lagi untuk menempatkan diri atau sesuatu pada tempatnya. Urusan politik bukan saja tentang memenangkan paslon tertentu, tapi juga harus mengedukasi masyarakat tentang demokrasi dan politik itu sendiri. Apa artinya kemenangan dalam pemilu jika langkah-langkah politik yang ambil justru mencederai demokrasi?
Akhirnya, dalam Dolly English ArtFest itu sendiri masih terdapat banyak hal yang perlu dievaluasi, meskipun secara umum berjalan lancar hingga usai. Saya mempercayai bahwa kita butuh lebih banyak lagi kerja-kerja sosial, yaitu tindakan-tindakan yang berorientasi pada 'human development' secara maksimal dengan konsep yang lebih matang.
Bila Anda tidak tau bahwa ada komunitas Dolly English Club (DEC) di Surabaya, kemungkinan besar Anda kurang asupan informasi. Sebab, komunitas ini sudah ada sejak berbulan-bulan yang lalu dan telah diliput oleh media nasional maupun lokal.
DEC, sekali lagi perlu disampaikan, adalah komunitas yang berusaha memberi pengajaran kepada masyarakat sekitar kampung Dolly, bekas salah satu lokalisasi terbesar se-Asia tenggara, tentang pendidikan dan kesenian.
Progam pengajaran tersebut khususnya ditujukan kepada anak-anak dan pemuda, dan tentu saja dengan gratis. DEC menginginkan perubahan (secara bertahap) terhadap masyarakat sekitar kampung Dolly. Bagaimanapun, harus diakui, persoalan di kawasan Dolly tidak selesai begitu saja setelah lokalisasi Dolly ditutup. Masih ada banyak persoalan yang perlu dituntaskan, termasuk soal pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa masyarakat di daerah Putat Jaya itu tidak berpendidikan atau sekumpulan orang tidak mampu. Sama sekali tidak. Hanya saja, karena mereka sejak berpuluh-puluh tahun hidup nyaman karena perputaran roda perekonomian yang lancar, mereka ternyata kurang begitu siap dengan perubahan atas penutupan lokalisasi itu. Dan jelas saja, uang bagi mereka saat ini lebih sulit diperoleh dibandingkan sebelum lokalisasi ditutup.
Saya sama sekali tidak mau membahas penutupan itu maupun dampak-dampaknya secara khusus. Itu soal lain dan silakan teliti sendiri seluk-beluknya.
Hal penting yang mau saya utarakan adalah bahwa komunitas ini mencoba melakukan dua hal: pola pikir dan stigma.
Pola pikir ini sifatnya ditujukan kepada masyarakat di kawasan Dolly tersebut. Hal ini terkait dengan bagaimana masyarakat di sana menghadapi kehidupan 'baru'nya secara mental maupun intelektual. Sedangkan stigma tidak lain adalah apa yang melekat dalam pikiran masyarakat luar tentang terma Dolly.
DEC menginginkan masyarakat di kawasan Dolly dapat berubah dan kawasan itu sudah tidak seperti dulu lagi. Salah satu upaya yang dilakukan DEC yaitu mengadakan festival dengan tema "Dolly English ArtFest" yang digelar kemarin, 30 September.
Festival ini diawali dengan senam pagi bersama warga kampung. Lalu, dilanjutkan dengan 'English in Public' yang diikuti oleh ratusan siswa SLTA dari sekitar Putat Jaya dan Dukuh Kupang. Ada juga Jaranan Senterewe, Javanese Music, English Music, dan Bazaar yang meramaikan sepanjang hari.
Selain itu, kegiatan tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh. Ibu Arumi Bachsin (istri wakil gubernur terpilih Jatim), Andre Hehanussa (penyanyi Indonesia tahun 2000-an), Konsulat Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, serta terakhir seorang peneliti Dangdut dari Amerika Serikat, Andrea Decker. DEC harus berterima kasih atas kesediaan mereka untuk menghadiri dan memeriahkan event tersebut. Mereka semua telah memberi daya tarik tersendiri.
Akan tetapi, ini yang agak disesalkan, Andre Hehanussa mengenakan pakaian yang identik dengan salah satu paslon pilpres 2019, dan celakanya video saat dia menyanyi di-posting oleh akun relawan salah satu paslon tersebut di Facebook.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Tidak Andre Hehanussa, tidak pula akun yang memposting video itu. Itu hak mereka untuk bertindak demikian, karena DEC pun tidak pernah mengadakan kontrak politik dengan salah satu partai manapun. Akan tetapi, tindakan itu sangat berpotensi menciptakan persepsi bahwa DEC bekerjasama dengan partai tertentu. Ini yang kurang menarik.
Kenapa dikatakan demikian? Apabila masyarakat mempercayai bahwa DEC berkerjasama dengan partai tertentu, maka jelas ini akan, sedikit banyak, menghambat DEC memperoleh dukungan dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk menjalankan program-program berikutnya. Masyarakat bisa saja akan berpikir bahwa DEC adalah organisasi yang transaksional dengan partai-partai tertentu.
Sedangkan organisasi sosial, kita harus selalu ingat ini, yang tidak didukung oleh masyarakat sekitarnya adalah organisasi yang omong kosong. Jadi bagaimana mungkin suatu organisasi ingin menciptakan perubahan pada masyarakat tertentu tanpa dukungan masyarakat itu sendiri? Ini sangat sulit, kalau tidak mau menyebutnya mustahil. Oleh karenanya, tentu, kami tidak ingin hal ini terjadi pada DEC.
Saya sendiri sama sekali tidak anti terhadap politik. Bagi saya politik itu seperti udara yang kita hirup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mau tidak mau kita berpolitik, atau setidaknya hidup dalam pengaruh kebijakan-kebijakan politik.
Nampaknya kita perlu lebih bijak lagi untuk menempatkan diri atau sesuatu pada tempatnya. Urusan politik bukan saja tentang memenangkan paslon tertentu, tapi juga harus mengedukasi masyarakat tentang demokrasi dan politik itu sendiri. Apa artinya kemenangan dalam pemilu jika langkah-langkah politik yang ambil justru mencederai demokrasi?
Akhirnya, dalam Dolly English ArtFest itu sendiri masih terdapat banyak hal yang perlu dievaluasi, meskipun secara umum berjalan lancar hingga usai. Saya mempercayai bahwa kita butuh lebih banyak lagi kerja-kerja sosial, yaitu tindakan-tindakan yang berorientasi pada 'human development' secara maksimal dengan konsep yang lebih matang.
Komentar
Posting Komentar