Cerita Ziarah Wali, Peminta-minta dan Keikhlasan
Sumber gambar: milik pribadi
Beberapa jam sebelum keberangkatan pulang ke Jatim, saya bersama dua orang kawan menyempatkan diri untuk ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Letaknya tidak begitu jauh dari kontrakan yang kami tempati.
Sebenarnya rencana ziarah ini sudah ada jauh-jauh hari bahkan sebelum saya tiba di Cirebon. Namun, karena kemalasan dan hal-hal lain, rencana itu tertunda hingga hampir saja tak terlaksana. Untung salah satu kawan saya mempunyai niat yang jauh lebih besar dari saya, dan saya pun akhirnya terpengaruh juga.
Saya cukup suka dengan ziarah kubur. Tidak terlalu sering juga sih, dan tidak banyak makam-makam wali yang pernah saya kunjungi. Entah mengapa saya merasa nyaman saja. Meskipun pada saat itu saya tidak punya kepentingan apa-apa--dan biasanya memang tidak punya kepentingan--kecuali mengharapkan berkah dan ridho Allah melalui kekasih-kekasihNya tersebut.
Bisa jadi, kesukaan pada ziarah kubur ini adalah 'ketularan' dari bapak saya. Beliau setiap tahunnya hampir tidak pernah absen untuk ikut rombongan ziarah kubur. Bahkan dalam setahun bisa lebih dari sekali. Itu sebenarnya tergantung adanya rombongan dan keuangan. Biasanya sih ziarah wali lima atau wali songo.
Hanya saja, meskipun beliau cukup sering ziarah wali, saya tidak pernah sekalipun diajaknya. Pernah beberapa kali, sejauh saya mampu mengingat, beliau mengajak saya ke makam leluhur kami. Itu pun saat saya masih kecil, sebelum saya bisa naik motor sendiri. Setelah saya bisa bawa motor sendiri, kami tidak pernah ziarah bersama-sama.
Oiya, mari kembali pada makam Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati sebetulnya begitu berkesan buat saya. Sewaktu masih kanak-kanak, saya pernah dibelikan buku cerita Walisongo oleh bapak. Waktu itu beliau baru datang dari ziarah Walisongo.
Saya sangat menyukai kisah-kisah para waliyullah itu. Lebih tepatnya saya tertarik dengan karomah-karomahnya. Namun, terkhusus untuk Sunan Gunung Jati, saya mempunyai kesan yang lain. Saya suka namanya: Syeikh Syarif Hidayatullah. Nama ini terus saya ingat hingga sekarang. Berbeda dengan beberapa nama sunan lain yang saya sudah lupa. (Nanti saya akan mengingatnya kembali)
Tentu merupakan sebuah kebahagiaan, saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke makam Syeikh Syarif Hidayatullah tersebut. Bahkan sejak masuk gang menuju lokasi pemakaman, dada rasanya dipenuhi oleh sesuatu. Hal yang sama sering saya rasakan ketika hendak sowan kepada kyai atau mengunjungi makam-makam waliyullah lainnya.
Setelah memarkir kendaraan, kami turun dan sedikit merapikan pakaian, sedangkan saya di dalam hati terus menenangkan diri. Entah dengan kirim Fatihah atau bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Saya sudah terbiasa dengan perasaan seperti ini. Dengan tekad yang mantap dan bismillah, kami melangkah menuju area pesarean.
Namun, sebelum memasuki gerbang pintu makam, saya melihat beberapa orang di sisi kanan kiri jalan menuju makam. Ada yang berdiri, ada yang duduk. Ada lansia, ada kaum muda dan paruh baya. Saya langsung paham. Mereka adalah orang-orang yang mengharap kemurahan hati para pengunjung makam. Hal demikian dulu pernah ada di jalan masuk makam Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel Surabaya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
"Sediakan uang kecil. Nggak enak kalau nggak ngasih," kata salah seorang teman.
Saya ingat saya sedang tidak pegang uang waktu itu. Tapi, saat saya merogoh saku celana, saya menemukan tiga ribu rupiah: satu lembar uang seribuan, selembar lagi dua ribuan. Ternyata itu sisa uang dari pembelian rokok beberapa hari yang lalu. Saya bersyukur dan merasa lega, tapi uang itu tidak saya keluarkan dari saku. Saya malu karena saya cuma punya segitu.
Ketika saya mulai mendekati dan melewati mereka satu persatu, mereka lantas berkata "Shodaqoh dulu, mas", "Mas, amalnya, mas", "Harus ngasi, mas, biar istijabah doanya", "mas, ngasi dulu, mas", dan lain semacamnya. Uang receh di saku pun sudah saya berikan pada orang di ujung paling depan dan nomer dua.
Mereka mengucapkan itu semua dengan berbagai ekspresi. Ada yang dengan tampang (me)melas. Ada yang penuh harap dan kesungguhan. Ada yang malas-malasan (mungkin mereka sudah menduga, saya dan teman-teman saya sedang kere). Dan, sebagian ada juga yang sedikit memaksa.
Orang-orang yang memaksa ini seolah-olah menghalangi jalan kami dan mengarahkan kami pada kotak yang ada di tengah jalan, atau baki ukuran sedang yang dipegang temannya sebagai wadah pengumpulan uang. Sungguh, ini membuat saya risih.
Persoalannya adalah orang-orang yang agak memaksa ini adalah orang-orang yang secara fisik terlihat masih sangat segar dan sehat. Kakek-kakek yang lebih tua darinya tapi masih rajin cari rumput buat ternak sapinya, masih banyak di desa saya. Apalagi, para bapak yang meminta-minta itu memaksa sambil rokok-an. Gimana nggak mangkel? Pagi itu saya belum menikmati kopi dan rokok sama sekali.
Saya dapat memaklumi jika para lansia menjadi peminta-minta karena mereka memang sudah tidak mampu untuk bekerja, dan juga mungkin tidak punya anak yang dapat mengurusnya. Mereka adalah orang-orang yang patut diberikan haknya, yaitu sebagian dari harta orang mampu itu adalah harta fakir-miskin.
Meskipun ada peminta-minta yang sebetulnya adalah orang kaya. Tapi saya tidak hendak membicarakan itu. Mari kita berpikir positif saja, bahwa mereka yang meminta-minta adalah mereka yang memang tidak mampu.
Setelah tuntas melewati mereka semua, saya jadi berpikir banyak hal, terutama tentang para peminta-minta tadi. Saya jadi berandai-andai. Bukankah shodaqoh itu harus ikhlas? Bagaimana jika mereka yang terlanjur memberi tidak ikhlas? Bukankah tindakan pemaksaan yang demikian akan memberikan kesan buruk pada peziarah? Dimana peran pemerintah? Bagaimana perekonomian masyarakat Cirebon, khususnya yang berada di sekitar makam? Apa sejak dulu memang sudah seperti ini? Ini bagaimana sih sebenarnya, masa iya ini dibiarkan begitu saja?
Saya tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sendiri. Mungkin karena saya masih mangkel atau sebagainya, sehingga saya tidak bisa berpikir dengan jernih. Akhirnya, saya putuskan untuk mengabaikannya dan pergi ke tempat wudhu dulu.
Pemakaman Sunan Gunung Jati sungguh indah. Keramik-keramik berukuran kecil dan sedang dipasang pada pagar serta tembok. Setelah berucap salam, saya dan teman-teman saya baca yasin dan tahlil sebagaimana biasanya. Tidak ada doa-doa khusus atau wiridan khusus. Saya kesana hanya ingin menghadiahkan bacaan Fatihah, Yasin, dan Tahlil kepada Syeikh Syarif Hidayatullah dan seluruh almarhumin dan almarhumah di area pesarean disana.
Setelah kami selesai dan hendak beranjak pulang, tiba-tiba saya tersentak. Ada kesadaran yang muncul begitu saja. Sebuah kesadaran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas sekaligus seolah-olah membawa cermin diri dalam realitas pertanyaan-pertanyaan itu.
Kenyataannya, yang tidak ikhlas itu adalah diri saya sendiri: Iqrom. Orang yang sok tahu dan menghakimi mereka yang meminta-minta. Yang merasa lebih mulia dan berbudi dari mereka. Yang merasa suci karena tidak suka memaksa orang lain, tapi sebenarnya di dalam hati suka memaksa Tuhan mengabulkan permintaannya. Yang karena kebodohannya, lupa diri bahwa ia tak lebih baik dari siapapun dan tidak lebih dari sekadar hamba yang lemah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Perkasa.
Betapa mudahnya diri ini terseret pada kecongkakan yang demikian halus. Astaghfirullahal 'adzim... Dan saya terus melafalkan kalimat ini berulang-ulang.
Akhirnya setelah mengambil gambar, kami terus pulang. Hati saya diliputi banyak hal. Ketakjuban, penghormatan, penyesalan, dan harapan-harapan (termasuk harapan untuk menuliskan kisah ini). Waktu melewati para peminta-minta itu lagi, saya melihat mereka masih meminta-minta dengan memaksa rombongan yang baru tiba.
Semoga kita--saya dan para pembaca sekalian--senantiasa dirahmati Allah dan diridhoi-Nya dunia akhirat. Amin...
Komentar
Posting Komentar