Balada Cinta Hozan Qudsy (Part I)


Sumber gambar: rumahkeluargaindonesia.com


Pemirsa yang budiman, baiknya kalian tidak tergesa-gesa menyimpulkan kisah yang satu ini. Meskipun judulnya terdengar mirip dengan 'Balada Gitar Tua'-nya Rhoma Irama, aku pastikan bahwa ini sama sekali berbeda.

Ini adalah kisah cinta yang menyakitkan tapi mengesankan. Bila kalian tak kenal siapa itu Hozan Qudsy, jangan ambil pusing. Anggap saja ia adalah Yusfan, Arfan, Hasanah, Nayra, Brilian, Anisa, Elok, Novia, Nita, Cindy, Dian, Ria, atau siapapun. Terserah. Kisah ini bisa terjadi pada siapa saja. Sebab yang terpenting bukan siapa tokohnya, tapi bagaimana jalan ceritanya.

***

3 Pebruari 2018. Itu adalah hari Sabtu malam Minggu. Aku sedang ibadah 'ngopi' dengan teman-teman di warung kopi sederhana tanpa WiFi. Sebagai golongan orang-orang jomblo bermartabat yang punya pengertian, kami tidak mau menyumbang kemacetan dan melakukan pemborosan BBM untuk perjalanan yang tidak penting di malam Minggu.

Sebenarnya bisa saja kami keluar menyesaki jalan-jalan di kota Surabaya. Bermain-main ke Kembang Kuning atau ziarah ke Sunan Ampel. Tetapi tidak. Kami sadar situasi dan kondisi.

Pun, kami tidak pernah menggelar doa semacam semoga turun hujan pada malam Minggu. Sehingga mereka yang sedang jalan-jalan dan memadu asmara dengan kekasihnya jadi terganggu momen indahnya atau gagal rencananya. Tidak. Kami tidak sepicik itu.

Kami cukup bahagia dengan hidup kami sendiri. Berkumpul dengan sejawat, guyub, ngobrol santai ditemani secangkir kopi yang tidak pernah manis adalah momen romantis bersama kawan-kawan senasib. Menertawakan lelucon, seperti yang sering ditunjukkan oleh Fahri Zon dan Fadli Hamzah, kami pikir lebih menyehatkan. Ya, kami percaya tertawa itu sehat.

Saat aku sedang asyik mendengarkan cerita seorang teman, tiba-tiba hp-ku berbunyi. Hozan Qudsy menelpon. "Tumben ini anak," gumamku dalam hati.

"Hallo, ada apa, bung?"

Bukannya menjawab, eh dia justru menangis. Aku bingung dan sedikit terkejut.

"Loh... Loh... Ada apa, bung?"

"Bung, aku dikhianatin"

"Apa? Dikhiantin?" Sumpah, andaikan aku tidak mampu menahan diri, tawaku sudah pasti pecah.

Bukan perkara diputusnya aku tertawa. Putus dalam hubungan itu hal biasa. Tapi seorang Hozan Qudsy, lelaki yang kutahu amat cuek dan cool di depan wanita, sekarang dibuat termehek-mehek hingga sesenggukan tak karuan.

Saat itu, sebuah imajinasi langsung berkelebat. Andai saja aku diberi kesempatan untuk bertemu dengan mantan sahabatku ini, maka aku akan menjabat tangannya seraya berujar, "selamat kamu telah berhasil membuat Hozan menangis. Ini prestasi yang jarang dibuat wanita-wanita lain."

Tolong jangan disalah-mengerti. Jangan disangka aku ingin sahabat baikku itu terluka. Sama sekali tidak demikian. Aku hanya ingin mengapresiasi seseorang yang telah mampu meluluh-lantahkan hatinya, sebab jarang-jarang itu terjadi.

Sahabatku itu, bukan main gagahnya di depan wanita. Dia sangat mengerti fashion, dan seperti pemilihan pakaiannya pun dia selalu unik tapi tidak norak.

Jika aku umpamakan, dia adalah Jendral Sudirman di bidang asmara. Dia berperawakan agak kurus, kulit bersih, tulang pipi yang agak menonjol, dan dahi yang tidak terlalu lebar. Dia memiliki ketegasan sikap yang tergambar dari bentuk rahangnya. Secara sekilas dia memang mirip dengan panglima Jenderal pertama Indonesia itu.

Sebagaimana sang jenderal, dia juga suka bergerilya dalam soal asmara. Dia suka pindah dari satu hati ke hati yang lain. Lari dari kejaran kenangan-kenangan mantan yang selalu menghantui. Tapi dia selalu bisa bertahan dan bangkit melanjutkan perjuangan. Tampil gagah dan menaklukkan medan. Lalu, menemukan hati yang baru untuk melakukan persembunyian dan tetap tegar.

Namun, entah mengapa kali ini si jendral asmara begitu terpuruk dan jatuh. Seolah-olah dia menyalahi aturan pertama dari perang gerilya: terus bergerak.

Di hati seorang bernama Andriana dia tersesat dan terpukau. Bukannya terus berpindah, dia justru merasa enak dan nyaman tinggal di hati wanita ini. Mungkin saat itu dia memutuskan untuk tinggal di sana dengan membangun rumah yang bernama cinta dan berniat hidup di dalamnya hingga akhir hayat.

Tapi apa hendak dikata jika (pemilik) hati itu mencampakkan. Membius dan melenakannya. Si jenderal asmara terjerat, terpukul jatuh dan tak bisa bangkit lagi. (Kok seperti lirik lagu ya. Apa dah judulnya?).

"Ternyata dia membohongiku. Aku tadi memergokinya sedang bersama lelaki lain." Tangisnya terdengar semakin terisak.

"Bung, kamu tenangkan diri dulu. Ceritakan masalahnya pelan-pelan."

Aku dengar dia mencoba menahan Isak tangis dan sesegukannya. Sedangkan aku menahan tawaku sambil mengumpat dalam hati, "mampus kau."

Setelah agak tenang, dia mulai berkata, "jadi, ceritanya begini, bung."

***
(Bersambung)

Komentar

  1. Muantap ooom......
    Kereeeeenn.....
    Cerita Cinta menjadi Segar ditangan si Om.
    Alurnya dibuat sedih sesedih sedihnya eh pas srius mau nangis di #dilbes(bahasa madura) ke Humor jadi Langsung Tertawa deeh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Toxic Masculinity' dan Kesetaraan Gender

Kala Ratih

Catatan: Omong Kosong Pembangunan Infrastruktur Jalan