Balada Cinta Hozan Qudsy (Part III-End)
Sumber gambar: milik pribadi
Ada sebuah ungkapan, entah siapa yang mengatakan aku lupa, yang kurang lebih berbunyi: "yang sulit itu bukan mengatakan 'selamat tinggal', tapi membiasakan diri tanpa hal-hal yang dulu biasa kita lakukan."
Gaes, aku kira setiap orang yang kandas percintaannya menghadapi kesukaran ini. Siapapun orangnya, selagi ia memiliki rasa cinta yang mendalam.
Kebiasaan-kebiasaan seperti saling bertukar kabar, bertemu, bersenda gurau, bahkan sampai melakukan hal-hal bodoh dan gila bersama orang terkasih akan sangat sulit dilupakan. Lebih-lebih jika berada pada posisi diputusin atau dikhianatin. Sungguh tidak pernah mudah memulai hidup yang baru dengan keadaan yang demikian.
Hal yang senada tentunya juga dialami oleh tokoh kita, sang jenderal asmara, Hozan Qudsy.
Aku tau dari beberapa orang. Setelah hubungannya putus dengan seorang gadis bernama Andriana, kehidupan Hozan jadi berantakan. Tugasnya sebagai tenaga pengajar dan bagian keuangan pada sebuah lembaga bahasa yang didiaminya menjadi kacau.
Dalam beberapa Minggu, dia tidak mengajar. Dan, administrasi keuangan di lembaga tersebut dilimpahkan pada orang lain. Alangkah sangat disayangkan ketika tanggung jawab sebesar itu menjadi terbengkalai akibat kalutnya batin. Aku rasa kita harus mengerti keadaannya. Ini, seperti yang kukatakan, tidak pernah mudah dilalui.
Namun kenyataannya tidak hanya itu. Kegagalan asmara tersebut juga berpengaruh pada kehidupan sosialnya. Sang jenderal, kabarnya, dalam beberapa hari tidak memiliki komunikasi sosial yang bagus. Mungkin itu karena dia tidak siap menghadapi kenyataan yang seringkali terjadi tidak sesuai dengan harapan.
Dalam hal ini, harusnya Hozan tau sebuah kalimat yang dikatakan oleh seseorang, "don't cry because it's over, and smile because it happens," yang artinya (sebagaimana kata Chairil Anwar): mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Akibat dari kekacauan batin itu, ternyata Hozan sempat jatuh sakit. Dia terkena typus. Sungguh sempurna penderitaan tokoh kita ini. Kehilangan orang terkasih, lalu disusul kehilangan nikmat sehat untuk sementara waktu. Warbiasa, bukan?
Setelah sembuh dari sakitnya, tidak lantas membuat semuanya selesai. Dia mesti menghadapi bully-an dari teman-temannya. Dia masih harus berjuang secara mental untuk tetap tegar menjadi lelaki yang kuat. Meskipun tanpa dijelaskan panjang lebar, sebetulnya saat itu dia adalah seorang pecundang. Pecundang asmara, tepatnya.
Ejekan dan bully-an teman-teman kadang lebih tajam dan mengiris daripada tuduhan-tuduhan seorang musuh. Bagaimana tidak? Kala kita sedang terpuruk dan butuh dukungan, teman kita bukannya memberi motivasi ala Om Mario Teguh, justru mencerca dengan kalimat-kalimat sadis.
Misal, "kasihan ya yang selama ini hanya jadi penjaga jodohnya orang" lalu mereka terbahak-bahak. Atau, "gimana ya kabarnya si mantan, kayaknya dia bahagia deh dengan yang baru" lalu mereka terkekeh-kekeh. Jujur saja, aku sendiri rasanya ingin sekali memasukkan mereka dalam botol, lalu akan kubuang ke laut. Tapi aku selalu sadar apa yang mereka lakukan tujuannya baik.
Tidak sampai disitu saja. Jenderal Soedirman versi asmara ini juga jadi minder bertemu teman-temannya mantan. Ada perasaan malu dan 'kalah' yang menguasai dirinya. Bahkan dia memilih tidak bepergian jauh. Dia takut melewati jalanan dan tempat-tempat yang pernah dilalui dengan mantannya.
Betapa tersiksanya orang-orang yang melawan kenangan. Betapa beratnya melawan kenangan. Di luar saja mereka terlihat tersenyum dan menunjukkan wajah yang sumringah. Padahal di kesendirian malamnya, mereka didera sepi dan disiksa oleh mimpi-mimpi yang terus menghantuinya dan kenangan-kenangan yang selalu menerornya.
Begitupun Hozan. Usaha-usaha untuk melawan kenangan dilakukannya dengan susah payah. Dia terus berupaya mengalihkan perhatian pada hal-hal lain, yang pada akhirnya memberi hikmah tersendiri untuknya.
Dan, jika harus kuceritakan satu kisah singkat yang berkesan tapi sangat menampar, tak lain saat Hozan pulang dari perantauan.
Pada suatu sore yang sejuk, dia baru tiba di rumahnya. Ternyata disana sedang berkumpul keluarga besarnya, termasuk ponakannya yang masih kelas 2 SD. Saat dia memasuki rumah, si ponakan berlari menyongsongnya. Melompat pada pelukannya. Lalu, dengan lirih dan sambil tolah-toleh dia berkata, "Om, tante mana? Kok Om sendirian? Aku mau ketemu tante, Om."
Mungkin memang terlalu cepat Hozan mengenalkan Andriana pada keluarganya, hingga mereka jadi terlalu akrab dan si ponakan pun sudah begitu luluh pada wanita itu. Akibatnya, menjawab pertanyaan ponakannya yang amat sederhana itu pun lidahnya kelu dan tenggorokannya tersumbat. Dia tidak mampu berkata-kata.
Akan tetapi, gaes, semua yang kuceritakan di atas sudah berlalu. Masa-masa suram itu sudah lewat. Hujan telah reda. Badai sudah berlalu. Kini pelangi menghiasi kehidupan Hozan.
Ketika kegalauan dan kebingungan sampai pada puncaknya, Hozan menemui ibundanya. Meluapkan semua emosi di dalam dada. Mencurahkan kekecewaan dan penyesalan yang selama ini tertahan di ujung lidahnya. Dia menceritakan semuanya sambil berharap ada secercah cahaya dari seorang bunda untuk anaknya yang sedang dalam gelap gulita.
"Sabber, nak. Jhek kenik ateh, labu jegheh pole (Sabar, nak. Jangan berkecil hati. Jatuh, bangun lagi)," kata sang ibunda memberi semangat.
Di lain kesempatan, masnya juga memberikan nasihat. "Kamu itu laki-laki, dik. Umur 30 tahun masih banyak wanita yang mau denganmu," katanya.
Atas motivasi keluarganya dan berkat Allah Yang Maha Esa serta didorongkan oleh keinginan yang luhur supaya berkehidupan yang bebas, maka Hozan memutuskan untuk move on seterusnya.
Dengan berjalannya waktu, Hozan berubah menjadi pribadi yang lebih religius. Lebih mengakrabkan diri dengan Tuhan. Dia juga dapat fokus pada pengerjaan skripsinya yang sudah memasuki masa-masa injury time. Sebab jika tidak lulus tahun ini, dia akan di-DO.
Di samping itu, akibat kandasnya percintaan, Hozan mempunyai banyak waktu untuk mengasah skillnya dalam bidang desain grafis. Dia memiliki brand sendiri untuk jasa editingnya: Sensei Art (lengkapnya baca disini).
Kabar baiknya, Sensei Art sekarang mempunyai banyak pesanan. Dalam sebulan ia bisa menerima hingga 20 orderan. Apalagi saat ini, Hozan sedang menggarap editing foto untuk kampanye politik. Bahkan kerennya, dia sudah pernah menolak ketika diminta oleh sebuah percetakan untuk bekerja jadi kepala tim editing. Ya, semuanya memang sudah berubah.
Namun, diantara semua hal itu, yang paling membahagiakan adalah besok, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2018, dia secara resmi akan menyandang gelar sarjana. Perjuangannya, bersama Ibnu Faiqim, untuk menyelesaikan kuliah hingga 14 semester adalah cerita yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sungguh Hozan harus bersyukur, pertama, karena hubungannya kandas dan, kedua, karena diberikan kekuatan untuk melewati masa-masa tidak mengenakkan itu. Ceritanya bisa jadi akan lain jika hubungan itu masih bertahan. Bukannya menjadi seorang sarjana yang siap bersaing, malah mungkin akan jadi beban negara setelah lulus: pengangguran. Untungnya takdir menggariskan yang lain.
***
The End
Ucapan selamat wisuda
Selamat wisuda untuk Bung Hozan, Bung Faiqim, Taufik Hidayat dan Salman Al farisi. Selamat dan Semoga menjadi sarjana yang bermanfaat untuk masyarakat.
Sukaaaaaaaaaaak
BalasHapusTerima kasih. Silakan pantau terus. Akan ada cerita lainnya
Hapus