Aku (Masih) Netral
Sumber gambar: Nusantarakini.com
Tidak kurang dari 6 kali pemilihan umum, mulai dari pemilihan tingkat desa hingga pilpres, yang tidak pernah saya ikuti sejak saya punya hak memilih satu windu lalu.
Saya bukan anti-demokrasi. Justru saya mendukung dan berupaya sebisa mungkin untuk menerapkan cara-cara hidup demokratis. Mulai dari perilaku hingga yang paling mendasar pola pikir yang demokratis.
Soal saya tidak pernah ambil bagian dalam beberapa pemilu, adalah karena dua hal: pertama, saya tidak pernah mendapatkan surat undangan memilih; kedua, saya selalu ada di luar kota ketika pelaksanaan pemilihan.
Sesungguhnya saya sangat paham. Orang yang tidak mendapatkan surat undangan memilih padahal umurnya sudah 17 tahun lebih, berhak melapor. Ini belum pernah saya lakukan. Sebab, seperti yang saya sebutkan tadi, saya sering ada di luar kota. Bahkan sejak 10 tahun terakhir.
Sebetulnya, aneh. Orang tua saya selalu mendapatkan surat undangan memilih, tapi saya tidak. Padahal saya dan orang tua saya masih dalam satu Kartu Keluarga (KK). Artinya, dari KK tersebut seharusnya sudah terbaca apakah saya, sebagai anak satu-satunya dalam daftar KK tersebut, juga berhak mendapat surat undangan itu atau tidak.
Ibu atau bapak juga tidak pernah bertanya kepada petugas yang mengantarkan surat undangan memilih itu, kenapa saya tidak mendapatkan surat serupa. Mungkin beliau tidak paham tentang administrasi beginian.
Tapi, baiklah. Pada pileg dan pilpres 2019 nanti saya usahakan untuk mengurusi itu semua agar saya mendapatkan surat undangan memilih. Dan, semoga saja ada caleg atau paslon yang membuat saya tertarik untuk memilihnya.
***
Dalam masa-masa seperti sekarang ini, saya juga sering ditanya pilihan politik saya. No. 01 atau No. 02? Dua periode atau presiden baru?
Gaes, jujur saja. Sejauh ini belum ada paslon yang memikat hati saya. Manuver-manuver mereka untuk menarik simpati rakyat tidak beda jauh dengan momen-momen pemilihan sebelumnya. Penggiringan opini, playing victims, dan bahkan pembuatan serta penyebaran berita hoax semakin sering dilakukan.
Paslon pertama, dengan mantranya 'pertumbuhan ekonomi' dan 'pembangunan nasional', rakyat kecil semakin dipinggirkan. Kita disuguhi angka-angka pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dan pembangunan infrastruktur yang mencengangkan. Tapi disaat bersamaan jurang kemiskinan semakin melebar, kelestarian alam dan lingkungan dikorbankan.
Di dunia maya, pendukung kubu petahana ini tidak kalah militan. Mereka memuji betapa sucinya paslon yang mereka dukung, sambil menutup mata tentang kasus pembangunan NYIA (New Yogjakarta International Airport) di Kulon Progo, protes para petani di Kendeng, reklamasi teluk Benoa di Bali, dan kasus-kasus lain yang negara semestinya hadir membela kepentingan rakyat kecil.
Sedangkan kubu paslon satunya, ini lebih parah lagi. Untuk menaikkan elektabilitasnya, bukannya memberikan ide-ide segar dan kritik yang rasional, justru memainkan isu PKI-Komunis, pemerintah anti-Islam, pemerintah pro-asing dan cerita-cerita receh lainnya.
Kubu ini juga yang paling getol dengan politisasi agama. Maklum orang-orang yang ada di barisan ini adalah bekas anggota HTI dan kader-kader ideologis 'Ikhwanul Muslimin' di partai PKS. Organisasi-organisasi bermasalah di negara asalnya di timur tengah. Kubu ini jelasnya adalah yang paling sering menunjukkan ketidakwarasan.
Dikotomi partai Allah dan partai setan juga dilontarkan oleh salah satu tokoh di kubu ini: Amien Rais, salah satu pendiri PAN. Dia juga seorang sesepuh di organisasi Muhammadiyah yang--saya curiga--kader Muhammadiyah sendiri mungkin malu mengakuinya sebagai senior mengingat ada Buya Syafi'i Ma'arif yang jauh lebih kredibel.
Patut juga disebut, di kubu ini ada Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dwi-tunggal yang jadi pimpinan wakil rakyat. Mereka sangat aktif mengkritisi pemerintah. Tapi, yang dikritisi hanya karena mereka dan golongannya berbeda dengan pemerintah. Maksudku gini, mereka wakil rakyat, pimpinan wakil rakyat, tapi jarang membela kepentingan rakyat kecil.
***
Perpolitikan di Indonesia ini sedang tidak sehat. Ambisi kekuasaan menjangkiti sebagian besar mereka yang di masa kampanye suka berteriak "demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat". Menurutku, itu omong kosong paling lazim di negeri ini.
Harusnya kontestasi pertarungan politik itu adalah pertarungan gagasan. Paslon (beserta timsesnya) harus mengedepankan inovasi-inovasi dan ide-ide perbaikan untuk kemajuan negeri.
Tapi yang terjadi di negeri kita tidak demikian. Kompetisi yang tersaji adalah kompetisi yang saling menjatuhkan. Kubu satu menjatuhkan yang lainnya. Atau, bersolek diri agar tampak seperti orang tak berdosa.
Edukasi politik bagi masyarakat juga masih kurang. Masyarakat yang awam mudah terseret dan diombang-ambingkan oleh mereka, para elit yang cerdas dan busuk itu. Kita juga harus mengerti bahwa kita sama sekali tidak boleh fanatik terhadap satu golongan atau partai. Kita harus belajar, bahwa tidak ada yang pasti di dunia politik. Sekarang boleh berkoalisi, besok bisa jadi saling menghabisi.
Sekali lagi, aku masih netral.
Tidak kurang dari 6 kali pemilihan umum, mulai dari pemilihan tingkat desa hingga pilpres, yang tidak pernah saya ikuti sejak saya punya hak memilih satu windu lalu.
Saya bukan anti-demokrasi. Justru saya mendukung dan berupaya sebisa mungkin untuk menerapkan cara-cara hidup demokratis. Mulai dari perilaku hingga yang paling mendasar pola pikir yang demokratis.
Soal saya tidak pernah ambil bagian dalam beberapa pemilu, adalah karena dua hal: pertama, saya tidak pernah mendapatkan surat undangan memilih; kedua, saya selalu ada di luar kota ketika pelaksanaan pemilihan.
Sesungguhnya saya sangat paham. Orang yang tidak mendapatkan surat undangan memilih padahal umurnya sudah 17 tahun lebih, berhak melapor. Ini belum pernah saya lakukan. Sebab, seperti yang saya sebutkan tadi, saya sering ada di luar kota. Bahkan sejak 10 tahun terakhir.
Sebetulnya, aneh. Orang tua saya selalu mendapatkan surat undangan memilih, tapi saya tidak. Padahal saya dan orang tua saya masih dalam satu Kartu Keluarga (KK). Artinya, dari KK tersebut seharusnya sudah terbaca apakah saya, sebagai anak satu-satunya dalam daftar KK tersebut, juga berhak mendapat surat undangan itu atau tidak.
Ibu atau bapak juga tidak pernah bertanya kepada petugas yang mengantarkan surat undangan memilih itu, kenapa saya tidak mendapatkan surat serupa. Mungkin beliau tidak paham tentang administrasi beginian.
Tapi, baiklah. Pada pileg dan pilpres 2019 nanti saya usahakan untuk mengurusi itu semua agar saya mendapatkan surat undangan memilih. Dan, semoga saja ada caleg atau paslon yang membuat saya tertarik untuk memilihnya.
***
Dalam masa-masa seperti sekarang ini, saya juga sering ditanya pilihan politik saya. No. 01 atau No. 02? Dua periode atau presiden baru?
Gaes, jujur saja. Sejauh ini belum ada paslon yang memikat hati saya. Manuver-manuver mereka untuk menarik simpati rakyat tidak beda jauh dengan momen-momen pemilihan sebelumnya. Penggiringan opini, playing victims, dan bahkan pembuatan serta penyebaran berita hoax semakin sering dilakukan.
Paslon pertama, dengan mantranya 'pertumbuhan ekonomi' dan 'pembangunan nasional', rakyat kecil semakin dipinggirkan. Kita disuguhi angka-angka pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dan pembangunan infrastruktur yang mencengangkan. Tapi disaat bersamaan jurang kemiskinan semakin melebar, kelestarian alam dan lingkungan dikorbankan.
Di dunia maya, pendukung kubu petahana ini tidak kalah militan. Mereka memuji betapa sucinya paslon yang mereka dukung, sambil menutup mata tentang kasus pembangunan NYIA (New Yogjakarta International Airport) di Kulon Progo, protes para petani di Kendeng, reklamasi teluk Benoa di Bali, dan kasus-kasus lain yang negara semestinya hadir membela kepentingan rakyat kecil.
Sedangkan kubu paslon satunya, ini lebih parah lagi. Untuk menaikkan elektabilitasnya, bukannya memberikan ide-ide segar dan kritik yang rasional, justru memainkan isu PKI-Komunis, pemerintah anti-Islam, pemerintah pro-asing dan cerita-cerita receh lainnya.
Kubu ini juga yang paling getol dengan politisasi agama. Maklum orang-orang yang ada di barisan ini adalah bekas anggota HTI dan kader-kader ideologis 'Ikhwanul Muslimin' di partai PKS. Organisasi-organisasi bermasalah di negara asalnya di timur tengah. Kubu ini jelasnya adalah yang paling sering menunjukkan ketidakwarasan.
Dikotomi partai Allah dan partai setan juga dilontarkan oleh salah satu tokoh di kubu ini: Amien Rais, salah satu pendiri PAN. Dia juga seorang sesepuh di organisasi Muhammadiyah yang--saya curiga--kader Muhammadiyah sendiri mungkin malu mengakuinya sebagai senior mengingat ada Buya Syafi'i Ma'arif yang jauh lebih kredibel.
Patut juga disebut, di kubu ini ada Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dwi-tunggal yang jadi pimpinan wakil rakyat. Mereka sangat aktif mengkritisi pemerintah. Tapi, yang dikritisi hanya karena mereka dan golongannya berbeda dengan pemerintah. Maksudku gini, mereka wakil rakyat, pimpinan wakil rakyat, tapi jarang membela kepentingan rakyat kecil.
***
Perpolitikan di Indonesia ini sedang tidak sehat. Ambisi kekuasaan menjangkiti sebagian besar mereka yang di masa kampanye suka berteriak "demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat". Menurutku, itu omong kosong paling lazim di negeri ini.
Harusnya kontestasi pertarungan politik itu adalah pertarungan gagasan. Paslon (beserta timsesnya) harus mengedepankan inovasi-inovasi dan ide-ide perbaikan untuk kemajuan negeri.
Tapi yang terjadi di negeri kita tidak demikian. Kompetisi yang tersaji adalah kompetisi yang saling menjatuhkan. Kubu satu menjatuhkan yang lainnya. Atau, bersolek diri agar tampak seperti orang tak berdosa.
Edukasi politik bagi masyarakat juga masih kurang. Masyarakat yang awam mudah terseret dan diombang-ambingkan oleh mereka, para elit yang cerdas dan busuk itu. Kita juga harus mengerti bahwa kita sama sekali tidak boleh fanatik terhadap satu golongan atau partai. Kita harus belajar, bahwa tidak ada yang pasti di dunia politik. Sekarang boleh berkoalisi, besok bisa jadi saling menghabisi.
Sekali lagi, aku masih netral.
Komentar
Posting Komentar